Dalam dua hari ini, saya menghabiskan tiga belas episode dari “Glee”, serial drama-komedi dari Amerika yang telah banyak mendapat berbagai nominasi dan penghargaan, salah satunya Golden Globe Award for Best Television Series-Musical or Comedy. Pertama kali mendengar ceritanya dari teman saya, sama sekali tidak tertarik, karena saya tidak terlalu suka serial drama percintaan seperti Gossip Girls, The Hills atau 90210.
Menurut saya, acara-acara ini selalu menunjukkan cantik/ganteng itu berarti tinggi, langsing/kekar, kaya, fashionable, bla…bla…bla..(bukan berarti saya ngiri tanda tak mampu..hahaha). Terlebih lagi jadi banyak remaja-remaja yang kemakan tampilan para aktor dan artis, jadi pada ikutan tambah sulam badan (emang mobil bisa gonta-ganti onderdil). Saya lebih memilih drama televisi seperti Dr.House, CSI, atau Lie to Me, karena menurut saya, penonton diajak ikut berpikir dengan analisa dan bukti-bukti ilmiah.
Anywayyy, setelah Glee memenangkan berbagai macam penghargaan, saya jadi penasaran ingin menonton. Kisahnya tentang kehidupan anak-anak SMA yang bergabung dengan grup paduan suara yang disebut “Glee Club”, dimana seantero sekolah menganggap bahwa anggota-anggota Glee Club ini adalah “A BIG LOSER”. Sekelompok minoritas ini berjuang untung membuktikan bahwa “being different is being special”. Untuk kisah lengkapnya, harap para pembaca menonton sendiri, biar ga jadi spoiler. Komentar saya pribadi sebagai pecinta musik (apa daya kemampuan tak ada) untuk film ini “BIG LOVE FOR THE MUSIC, BIG NO FOR THE DRAMA”….cheezy bangettttt.

Jadi teringat masa-masa SMA setelah nonton Glee. Biasanya anak-anak SMA punya “fling” dengan lawan jenis. Nahh, drama percintaan anak SMA ini yang biasa disebut dengan CINTA MONYET. Asal muasal sebutan kenapa monyet bukan anjing atau lumba-lumba saya pun tidak tahu (monggo kalau ada yang bisa menjelaskan). Untuk peristiwa cinta monyet ini, saya sendiri kurang berpengalaman karena waktu saya SMA, I’m kind a nerd student, pushed myself to all those piles of books….hahaha.
Tapi kalau dilihat ke belakang, menurut saya cinta monyet itu adalah cinta yang tulus, ini pendapat subjektif lho, pembaca boleh setuju atau tidak. Karena, dua orang yang menjalin kasih di sini menjalani kisah mereka atas dasar cinta yang tulus. Di luar pandangan mereka yang sempit dan belum matang karena batasan umur, mereka ga mikir masa depan, uang, karier, rumah, dll. Kalau dilihat realitanya sekarang, emang bisa hidup dari cinta doankkk, makan tu cinta, it’s a big BULLS***!! Saya hanya mengutip dari film Singapore Dreaming, manusia hidup membutuhkan 5 C: Cash, Car, Credit Card, Condominium, and eventually Coffin.
Apa yang mau saya share di sini adalah keseimbangan antara cinta dan realita (kyk judul sinetron ajaa). Dari apa yang saya lihat, banyak pasangan-pasangan yang sudah menjalin hubungan lama dan langgeng, mereka tetap menjaga percintaan monyet mereka (cinta yang tulus) walaupun seringkali dibumbuin dengan sakit hati, pertengkaran, jungkir balik, kan katanya biar tambah lengkettttt (Love is a challenging rocky road).

Sekian artikel dari penulis yang masih harus makan banyak asam garam percintaan…(halaaahhh kok jadi curcol:P). Ini ada lagu yang cocok buat artikel cinta kali ini, Endless Love by Lionel Ritchie & Diana Ross. Silakan bernostalgila dan monggo diberi pengajaran dari yang lebih berpengalaman.
Keep living with LOVE
blognya bagus nih, jadi ingat waktu SMA dulu...
BalasHapusjangan lupa kunjungan balik ya,
http://sakitgigihilang.blogspot.com/
makasih gan ;)
BalasHapusuntung saya masih SMA, jadi belum ke inget".. heeheh :p
siap laksanakan komandan. sundul gan :D
hi...masak cinta ma monyet sob...
BalasHapushahaha Cinta Monyet yess gan :))
BalasHapushhha bagus tuhhh.... tapii akku masii smp lagi mao sma hhooo :D
BalasHapusnice bgt yh
BalasHapus